%PDF-1.5 %äüöß 2 0 obj <> stream xœ[K‹$¹¾÷¯¨óB•S¯T&4•ÕSß|0¾Ùkcv¼ÿ}KñPD¤”Ù³`º²RR(Ï/B5ÓÍ]þûöŸËt™n“_.³s·5»K^ñó÷¼ýå§Ëooß/0§üûýŸoÛç[öeáœ.Ÿ¿üéå.Î]>~ŸÜýóßoß>ß¾¿ífçÛÜf{œý×2}òw_WýíóÏmÙ-Mn�»O$´äÛÒ!t¿:þ~�ïS¸»úXž">©—õ1Õ!|œåm¾Ïƒ·±ÑZî×™W‚LJ�w…ÑFþ�“¶{ãíÙñø¡8WKe·è$ù['žM˜W‡{᧛x/çädJ`ßÚ£óÃs6)9Y¥ÕTE/\2uÒ¾Ú·J3ŠP²b¾÷ñe%_R°Ñ"Š-4ùøn¾_3=fáJ„磖/œgº-iZ—Ëþ³¨-LsQZñ�)]~}ËE¡ôå—IõKŠî–ûou¢¡ñËå_o?ÿ´s¿5bñ¶¢]Ä‹›ÙmP´E,�># ÑWG¹†b0E„�_-ðwrœË8ˆ³>XÈÕ™ËÈFßC¥g‡žbô¸*Tžðˆ¯¿U²¯úX¬ÀƒQÖíàKaÓÜ)¡ØG_ãDž9]œ·¡Â“•zåoªç™ò´”õ—�:i©§Éï0ú¼—…źÎMî„‹ a/°äö‡]\px¤BŠö]`£jŽ¾ÚÜ\m˜t(ÅÆR^®$é¶io”ÂÉ2ÝÂeÓ-î9yVú3pòçu 8;°±¹×Y8…öÒ,‹¤ú)§œk ¨�±§l1—£sS¨ÔR,–ÍY…©UUTñ€Å.`�Õ,*›à¡Ë,&мŽÈœzÌ؆áU õFøK+žLROé”]Ýij3„&ƒx;U¬"—0„ë´kz‚¥z§…†98‰Û:¯1ÔÂüØ6dz™Ö?ì»`ó–*ÿ¾ÍKÕ4–‘hÖ%=Pþœ«îÞ"ºG/H(”¥ÐÑ…êq…ÝÊ9Íøçd´x0 ² fÕ# œÝ,…ĈJ�N4.ü²(QDûoV¦IÖƒP£kn¸ôcÄ�£3
%PDF-1.4 %µµµµ 1 0 obj <>/OutputIntents[<>] /Metadata 662 0 R>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 14 0 R 15 0 R] /MediaBox[ 0 0 596.01 841.93] /Contents 4 0 R/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœÍ<Ûr㸱ï®ò?ðQÚÓÄ… ™J¥Î\6ÙÉ;Þäa“Z’%Ž.ÔñH;åª|üén $HöÌHt�Ë ²}¿€Œ®o¢?ÿùúç·ïßEÉ_þ½y÷6úßË‹$Jâ$ID’²î×7å²Ú•‡ªÞ]8Þpè‡E9_<8È!jI’ç9Ð!ìÞÜeƒq¥¢ÛûËF¸ÂÚ4Nx”)it»Åí.ñão—¿Oþ9Í'õæ¸]L¯Ä$š^å–¿ÂQóñ�é•œÔÛúajÄô?Ñíß//¾˜°ÕsàÈò<æ$£+¸½’yt;û}ò§hàEs¢�’#ì—3ƒ¬@^�0‹Yp‹#Àã"N‚LÇ€(@γÄĆ‹
Oleh: Muhammad Rafi, S.Ag – Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru
Pernikahan merupakan salah satu tahap dari rangkaian perjalanan hidup yang ditunggu oleh hampir setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Pernikahan adalah norma turun-menurun yang ada di seluruh kebudayaan manusia sepanjang sejarah. Terkhusus bagi masyarakat Indonesia, pernikahan ialah proses pengikatan janji suci antara laki-laki dan perempuan.
Secara etimologi (bahasa), nikah berasal dari bahasa Arab al-dhammu yang berarti “berkumpul.” Sedangkan menurut terminologi fikih (istilah syariat), akad yang menyimpan makna diperbolehkannya hubungan intim (antara suami-istri) dengan menggunakan lafaz nikah atau sejenisnya. Dengan kata lain, pernikahan adalah dasar hukum yang melegalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan (Fathul Wahab, 2: 54).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pernikahan adalah penyatuan dua insan (laki-laki dan perempuan) melalui akad yang menjadi dasar kebolehan penyatuan. Menurut ulama mazhab Syafi’i, hukum asal menikah adalah sunnah atau anjuran sebagaimana pernyataan Imam Nawawi, “perintah menikah dalam Al-Qur’an bermakan anjuran, bukan wajib. Pandangan ini disetujui oleh mayoritas ulama” (Syarah Shahih Muslim, 9: 173).
Anjuran menikah banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah Firman Allah swt dalam QS. An-Nur [24] ayat 32 yang berbunyi:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur [24] ayat 32).
Berkenaan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (6: 51) bahwa QS. An-Nur [24] ayat 32 berisi perintah untuk menikah. Perintah ini – menurut sebagian ulama – bersifat wajib bagi orang yang telah mampu melaksanakannya. Pandangan tersebut didasarkan pada hadis nabi Muhammad saw yang menyeru para pemuda apabila telah mampu hendaknya segera menikah.
Ibnu Katsir melanjutkan, “namun sebagian besar (mayoritas) ulama menyatakan bahwa perintah menikah pada QS. An-Nur [24] ayat 32 tidak bermakna wajib, melainkan sunnah atau anjuran.” Pandangan yang sama disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i dalam qaul jadid-nya (pandangan terbaru) bahwa hukum asal perintah menikah dalam Al-Qur’an bersifat anjuran, tidak wajib (Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (6: 52).
Hukum Menikah Tergantung Keadaan dan Niat Pelaku
Kendati hukum asal menikah menurut mayoritas pendapat ulama adalah sunah atau anjuran, namun jika ditinjau berdasarkan keadaan dan niat pelaku (calon pengantin), maka hukum nikah terbagi kepada lima (5) macam, yaitu: wajib, sunah dilakukan, lebih baik ditinggalkan, makruh, dan haram (Fath al-Mu’in: 44-46). Penjelasan masing-masing hukum dapat dilihat dalam deskripsi berikut:
Hukum nikah yang pertama adalah wajib. Kewajiban nikah diperuntukkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menikah dan punya keinginan kuat untuk menyalurkan gairah seksualnya (tidak bisa ditahan-tahan lagi) sehingga dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kemampuan menikah maksudnya mampu untuk memberikan nafkah, yang terdiri dari mahar, sandang, pangan dan papan. Jika seseorang berada pada posisi ini, maka ia wajib menikah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Hukum nikah yang kedua adalah sunah. Kesunahan nikah diperuntukkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menikah, mau, dan punya keinginan untuk menyalurkan gairah seksualitas, namun tidak sampai pada taraf dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam kemaksiatan. Jika seseorang berada pada posisi ini, maka ia disunahkan untuk segera menikah.
Hukum nikah yang ketiga adalah lebih baik ditinggalkan. Hukum ini berlaku bagi orang yang berkeinginan untuk menyalurkan gairah seksualitas namun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi. Orang yang berada pada posisi ini sebaiknya menunda keinginan menikah hingga ia mampu. Adapun gairah seksualitasnya bisa dikurangi dengan berpuasa atau berolahraga dengan rutin.
Hukum menikah yang keempat adalah makruh. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena suatu penyakit. Pada saat yang sama, ia juga tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan ia tidak dapat menunaikan hak dan kewajibannya dalam pernikahan atau bahkan malah dapat merugikan pasangannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hukum menikah yang kelima adalah haram. Keharaman nikah berlaku bagi orang yang menikah dengan tujuan menyakiti atau tujuan-tujuan lain yang melanggar ketentuan agama. Misalnya, jika ada orang yang berkeinginan kuat (berniat) untuk menyakiti dan menyiksa pasangan dalam pernikahan, maka ia diharamkan untuk menikah.
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa hukum menikah tergantung keadaan dan niat pelaku (calon pengantin). Keadaan dan niat ini dapat ditinjau dan diresapi oleh masing-masing individu. Dalam konteks Indonesia, kemampuan untuk menikah ini biasanya dimiliki setelah menamatkan SMA dan mempunyai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan harian (usia kisaran 19-25 tahun). Terakhir, berkenaan dengan ragam hukum menikah, sebaiknya orang tua memperhatikan situasi dan kondisi anak-anaknya yang hendak menikah, apakah sudah memenuhi syarat atau belum? Pada hakikatnya menikah adalah sebuah ibadah yang di dalamnya terhadap hak dan kewajiban. Oleh karena itu, kemampuan diri, baik secara fisik maupun psikis, mutlak diperlukan agar tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Wallahu a’lam.
Menikah merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Dalam pandangan Islam, pernikahan bukan sekadar ikatan fisik antara dua individu, melainkan juga merupakan bentuk ibadah dan penyempurnaan separuh agama.Aturan-aturan menikah dalam Islam dirancang dengan sangat rinci untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak, serta untuk menjaga keturunan dan keteraturan masyarakat.Dalam kitab fiqih Fathul Wahab (2: 54) karya Syaikh Zakaria al-Anshari, dijelaskan "nikah" secara etimologis berasal dari bahasa Arab "al-dhammu," yang berarti "berkumpul."
Menurut terminologi fiqih atau syariat dalam islam "nikah" merupakan akad yang memperbolehkan hubungan intim antara suami dan istri dengan menggunakan lafaz nikah atau yang setara.
Dengan demikian, menikah merupakan suatu landasan hukum yang melegalkan hubungan sah antara seorang pria dan wanita.
Berdasarkan definisi tersebut, menikah dapat diartikan sebagai penyatuan dua individu (pria dan wanita) melalui akad yang menjadi dasar keabsahan hubungan tersebut.
Banyak anjuran untuk menikah yang terdapat dalam Al-Qur'an, salah satunya ialah Firman Allah SWT dalam (QS. An-Nur, 24: 32) yang berbunyi:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
wa ankiḥul-ayāmā minkum waṣ-ṣāliḥīna min 'ibādikum wa imā'ikum, iy yakūnū fuqarā'a yugnihimullāhu min faḍlih(ī), wallāhu wāsi'un 'alīm(un).
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur, 24: 32).
Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, (6: 51) bahwa surat An-Nur ayat 32 mengandung perintah untuk menikah. Menurut beberapa ulama, perintah ini bersifat wajib bagi mereka yang sudah mampu melaksanakannya.
Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang mendorong para pemuda untuk segera menikah jika sudah memiliki kemampuan.
Dalam penjelasaanya Ibnu Katsir melanjutkan, “namun sebagian besar (mayoritas) ulama menyatakan bahwa perintah menikah pada surat An-Nur ayat 32 tidak bermakna wajib, melainkan sunnah atau anjuran.”
Kemudian, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, (6: 52) pandangan serupa disampaikan oleh Imam asy-Syafi'i dalam qaul jadid-nya (pandangan terbaru), bahwa perintah menikah dalam Al-Qur'an pada dasarnya bersifat anjuran, bukan kewajiban.
Lantas, bagaimana hukum menikah menurut perspektif Islam? Berikut penjelasannya.
Pada dasarnya, hukum menikah merupakan mubah (boleh), artinya tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang. Bergantung pada kondisi dan niat individu yang hendak menikah
Namun, mayoritas ulama menganggap hukum menikah sebagai sunnah atau anjuran, kitab Fath al-Mu'in oleh Ahmad Zainuddin Alfannani (hal. 44-46) menjelaskan bahwa hukum menikah dapat dikategorikan dalam 5 jenis berdasarkan keadaan dan niat calon pengantin, yaitu:
1. WajibPernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang mampu secara finansial dan fisik, serta khawatir jatuh dalam perbuatan dosa jika tidak menikah.Hal tersebut, bertujuan untuk menjaga moral dan akhlak seseorang dari perbuatan yang dilarang dalam agama.
2. SunnahMenikah merupakan sunnah bagi mereka yang mampu dan tidak khawatir jatuh dalam dosa. Ini merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, serta cara untuk meningkatkan kualitas hidup dengan adanya pasangan yang sah.
3. MubahHukum pernikahan dianggap mubah bagi mereka yang hanya ingin memenuhi kebutuhan seksual tetapi tidak memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi.
Individu dalam situasi ini disarankan untuk menunda pernikahan hingga mereka memiliki kemampuan yang memadai.
4. MakruhHukum makruh berlaku bagi orang yang tidak berniat menikah karena sifat pribadi atau kondisi kesehatan dan juga tidak mampu menafkahi keluarga.Menikah dalam situasi ini dapat menimbulkan masalah, termasuk risiko tidak dapat memenuhi hak dan kewajiban pernikahan, yang bisa merugikan pasangan.
5. HaramKeharaman pernikahan berlaku bagi mereka yang menikah dengan tujuan untuk menyakiti atau melanggar ketentuan agama yang sudah di ajarkan.
Misalnya, seseorang yang berniat untuk menyiksa atau menyakiti pasangan dalam pernikahan, dilarang untuk menikah dan jika dipaksakan maka hukumnya haram.
Menikah dalam Islam bukan hanya soal ikatan sosial tetapi juga sebuah tanggung jawab religius. Memahami 5 hukum pernikahan ini penting untuk memastikan bahwa setiap aspek dari pernikahan dilakukan sesuai dengan ajaran agama.
Dengan mematuhi hukum-hukum tersebut, diharapkan pernikahan dapat berjalan lancar dan penuh berkah dan dapat membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra HarahapEditor: Alviansyah Pasaribu Copyright © ANTARA 2024
SIAPAKAH sosok malaikat pencabut nyawa dalam ajaran Islam? Simak jawabannya secara jelas berikut ini.
Dilansir laman Konsultasi Syariah, Ustadz Ammi Nur Baits ST BA mengungkapkan bahwa sosok malaikat pencabut nyawa menurut ajaran Islam adalah malaikat maut. Hal ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala jelaskan dalam ayat suci Alquran:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
"Katakanlah: 'Malaikat Maut yang diserahi untuk mencabut nyawa kalian, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan'." (QS As-Sajdah: 11)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menceritakan proses kematian hamba yang beriman. Beliau mengatakan:
ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِى إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ
"Kemudian datanglah Malaikat Maut 'alaihis salam. Dia duduk di samping kepalanya, dan mengatakan, 'Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan ridha-Nya'." (HR Ahmad nomor 18543, Abu Dawud: 4753, dishahihkan Syekh Syuaib Al Arnauth)
Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
Lalu yang menjadi pertanyaan, selama ini masyarakat mengenal malaikat pencabut nyawa bernama Izrail, apakah benar?
"Nama yang diberikan oleh Allah dalam Alquran dan yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits untuk malaikat pecabut nyawa adalah Malaikat Maut," jelas Ustadz Ammi.
"Sementara nama Izrail, ditegaskan para ulama ahli hadits, tidak didukung oleh dalil baik dari Alquran maupun sunnah," imbuhnya.
Dalam Aqidah Thahawiyah dinyatakan:
ونؤمن بملك الموت الموكل بقبض أرواح العالمين
"Kami beriman dengan Malaikat Maut yang bertugas mencabut seluruh alam."
Dalam catatan kaki Aqidah Thahawiyah, Imam al-Albani menyatakan:
هذا هو اسمه في القرآن، وأما تسميته بـ “عزرائيل” كما هو الشائع بين الناس فلا أصل له، وإنما هو من الإسرائيليات
"Nama ini (Malaikat Maut) itulah nama yang ada dalam Alquran. Sementara nama Izrail, yang terkenal di masyarakat, tidak ada dasarnya. Ini adalah nama yang bersumber dari berita israiliyat. (Takhrij At-Thahawiyah)."
Demikian pula yang disampaikan Imam Ibnu Utsaimin dalam Liqa Bab al-Maftuh, volume 16:
وأما ملك الموت فأنه لا يصح تسميته بعزرائيل، وإنما يقال فيه مللك الموت كما قال الله عز وجل “قُلْ يَتَوَفَّاكُم مَّلَكُ المَوْتِ الَّذِي وَكِّلَ بِكُمْ” ولم يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن اسمه عزرائيل
"Tentang malaikat kematian, tidak ada dalil yang shahih mengenai nama Izrail. Nama yang benar adalah Malaikat Maut. Sebagaimana yang difirmankan Allah (yang artinya), Katakanlah: 'Malaikat Maut yang diserahi untuk mencabut nyawa kalian. Dan tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa nama malaikat ini adalah Izrail." (Liqa Bab al-Maftuh, VI)
"Sepeti itulah sikap yang diajarkan para ulama. Mereka menggunakan nama seperti yang disebutkan dalam Alquran. Dan menghindari istilah yang tidak didukung oleh dalil," terang Ustadz Ammi Nur Baits.
"Setidaknya kita bisa menjamin bahwa keyakinan kita tentang malaikat pencabut nyawa adalah keyakinan yang sesuai dengan Alquran dan hadits," pungkasnya.
Wallahu a'lam bisshawab.
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari